Sabtu, 08 Januari 2011

Mahasiswa dan sejarahnya


Pergerakan Mahasiswa dalam perpektif sejarah


GERAKAN MAHASISWA mulai memainkan peranan dalam sejarah sosial sejak berdirinya universitas di Bologna, Paris dan Oxford pada abad Ke-12 dan abad Ke-13. Semboyan mereka saat itu ialah Gaudeamus Igtiur, Juvenes Dum Sumus, artinya: "Kita bergembira, selagi kita muda.".

Sebenarnya sebuah jargon yang cukup lucu ketika ungkapan seperti di atas keluar dari seseorang yang berstatus sebagai seorang pemikir yang semestinya menjadi sebuah contoh, bagi masyarakat tentang bagaimana seharusnya seseorang berpikir, pun tidak dipungkiri mahasiswa adalah seorang pembaharu yang membawa perubahan pada sebuah bangsa. Pada saat berjuang biasanya mahasiswa mengusung kata “idealisme” sebagai poros perjuangannya. Mahasiswa tidak mampu menjadi agen perubahan dengan hanya berbekalkan idealisme dan semangat semata-mata tanpa kesadaran serta usaha-usaha untuk menguasai ilmu dan kemahiran yang dapat direalisasikan dalam kehidupan bermasyarakat.

Perjuangan golongan terpelajar untuk melakukan perubahan secara berkesinambungan memerlukan kekuatan yang boleh diterjemahkan dalam bentuk penguasaan ilmu dan usaha-usaha melahirkan cerdik pandai di kalangan sendiri, dengan kata lain idealisme adalah sebuah pengejawantahan dari kematangan proses berpikir, dan tanggung jawab implementasinya di masyarakat.

Immanuel Kant, pernah berkata bahwa sejarah bukanlah sesuatu yang terjadi, tapi sejarah adalah sesuatu yang terjadi dan memiliki arti. Maka dalam sejarah, gerakan mahasiswa telah menggoreskan tinta emasnya sebagai avant garde dalam setiap perubahan yang terjadi dalam tubuh bangsa ini. Topik mengenai gerakan mahasiswa seolah tak pernah habisnya untuk terus dikaji, begitu fenomenalnya gerakan mahasiswa sehingga diberikan label yang prestisius sebagai agent of change, agent of control dan berbagai label lainnya.
TAK berlebihan jika mahasiswa diidentikkan dengan berbagai label, di antaranya sebagai agent of change, iron stock, dan label-label lain yang kadangkala menuntut pertanggungjawaban kepada masyarakat dalam arti luas. Mahasiswa sebagai bagian masyarakat terdidik mesti merespons apa sebenarnya yang sedang terjadi hangat di masyarakat.
Jika kita meneropong dengan kacamata sejarah, mahasiswa memang mempunyai romantisme sejarah yang kuat. Dan hal itu bisa menjadi sumber energi dan juga bisa menjadi beban. Pada setiap zamannya, mahasiswa mempunyai peran yang tidak bisa dianggap remeh.
Sejarah telah membuktikan hal itu. Tengoklah misalnya pergerakan nasional tahun 1928 yang menghasilkan Sumpah Pemuda, semuanya tidak terlepas dari tokoh-tokoh seperti Muhammad Yamin, Sugondo Joyopuspito, dan mahasiswa-mahasiswa Indonesia lain yang sedang menuntut ilmu di GHS (Geeneskundige Hogere School) maupun di RHS (Recht Hogere School) yang sekarang melebur dan menjadi bagian Universitas Indonesia.
Begitu pun pada pergerakan tahun 1945 dan 1966, mahasiswa kembali menorehkan tinta sejarahnya yang masing-masing menghasilkan kemerdekaan Indonesia dan munculnya Orde Baru. Yang paling akhir adalah reformasi 1998 yang berhasil menjatuhkan rezim despotik Orde Baru yang telah "manggung" selama 32 tahun.
Untaian sejarah mahasiswa pada zamannya itu memberikan indikasi bahwa mahasiswa mempunyai tanggung jawab yang lebih jika dibandingkan dengan elemen masyarakat lain. Dan itu membutuhkan satu kesadaran. Kesadaran yang tumbuh dari setiap mahasiswa bahwa ia tidak saja mesti menyelesaikan tugas-tugas akademik di kampus, namun juga mesti mampu menyelesaikan problem-problem sosial kemasyarakatan yang ternyata jauh lebih rumit ketimbang belajar teorinya dan baca buku di dalam kelas. Keseimbangan dua aspek tadi yakni teori dan praktik setidaknya akan membentuk pemahaman yang utuh. Teori saja tanpa praktik adalah omong kosong, dan praktik tanpa teori dikhawatirkan akan caos.
Mahasiswa bisa diibaratkan adalah sosok intelektual muda yang nantinya diharapkan bisa menjadi cendekiawan. Tentu tidak mudah menapaki jalan hidup ke sana, penuh liku dan jalan terjal yang mesti dilalui. Karena menjadi seorang cendekiawan yang konsisten kadangkala mesti berseberangan dengan penguasa yang bisa jadi jalan yang dipilihnya itu menyeret pada pengapnya "hotel prodeo" alias penjara.
Lagi-lagi kita mesti membuka lembaran sejarah mengenai hal ini. Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Natsir, Hamka, dan yang lainnya adalah sederet cendekiawan yang pernah merasakan dinginnya tembok penjara karena tetap meneriakkan kebenaran ketika semua orang tiarap. Inilah risiko yang mesti ditanggung. Seorang cendekiawan yang lurus bisa dipastikan akan lebih banyak menemui badai ketimbang damai.
Seperti yang pernah ditulis oleh Julien Benda, seorang cendekiawan Prancis dalam bukunya yang cukup terkenal "La trahison des clercs" (1927) yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi "Pengkhianatan Kaum Cendekiawan" (hlm. 28-32) mengatakan bahwa cendekiawan tidak boleh terikat oleh sekat-sekat budaya, ras, bahasa, bangsa, dan geografi.
Ia harus merasa sebagai unit komunitas global sejati. Dalam perang sekalipun, ia tidak harus membela dan berpihak pada bangsanya. Ia selalu berpihak pada kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan. Adagium right or wrong is my country, tidak ada dalam kamus mereka.
Berbeda dengan sosok cendekiawan, menurut Benda, semua jenis aktivitas politik merupakan rezim militerisme dan jiwa kolektif dari realisme, materalisme, praktikalisme, dan aktivisme. Oleh karena itu cendekiawan tidak boleh terlibat dalam politik, militer dan diplomasi. Memasuki dunia itu berarti minimal terlibat-menyebarkan kebencian terhadap ras lain, faksi politik, dan sangat bangga dengan nasionalisme.
Benda mencatat cendekiawan seperti Mommsen, Treitschke, Ostwald, Brunetiere, Barres, Lemaitre, Peguy, Maurras, d'Annuzio, dan Kipling yang cenderung praktis, haus dengan hasil yang sementara, semata-mata memikirkan tujuan dan bukan proses, masa bodoh dengan argumentasi, overacting, suka menyebar kebencian dan mempunyai obsesi sebagai cendekiawan yang akrab dengan dunia politik, militer, dan diplomasi.
Benda memuji-muji cendekiawan seperti Gerson, Spinoza, Zola, Duclaux, da Vinci, Malebranche, Goethe, Erasmus, Kant, Renan, dan sebagainya yang selalu mengecam pertikaian antara egoisme dan arogansi manusia. Dengan demikian bahwa spirit dari seorang cendekiawan adalah menyuarakan kebenaran yang berpihak pada masyarakat bukan menjadi corong para penguasa. Persis ketika seorang Milan Kundera berseru bahwa perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa.
Dengan itulah kemudian sesungguhnya seorang mahasiswa mengemban tugas seorang intelektual yang sungguh berat. Apalagi jika kita tahu bahwa biaya pendidikan kita (baca:mahasiswa) sebagian ditanggung oleh dana yang diserap dari masyarakat. Fenomena hari ini menjelaskan bahwa dari tahun ke tahun rasa kepedulian mahasiswa terhadap masyarakat agaknya mengalami penurunan yang cukup berarti, mereka telah dininabobokan oleh budaya hedonisme dan terjerat ke dalam kubangan kapitalisme. Dua budaya ini lamat-lamat memasuki relung kehidupan kita tanpa sadar.
Sederhana saja jika kita ingin melihat fenomena ini. Cobalah bandingkan lebih banyak mana mahasiswa yang mengidap --meminjam istilah teman saya-- sindrom lingkaran setan yakni kosan, kuliah, nongkrong, dan begitu seterusnya tanpa memiliki variasi kegiatan yang cukup bermakna dengan sebagian mahasiswa yang berkecimpung di unit-unit kegiatan mahasiswa di intra maupun di ekstra kampus.
Tentu kita akan lebih banyak menyaksikan yang pertama ketimbang yang kedua. Persoalannya tentu tidak sederhana. Mereka dikirim orang tua untuk menuntut ilmu memang iya, namun yang mesti harus kita sadari bahwa menjadi mahasiswa adalah sebuah pilihan, dan memilih sesuatu akan meniscayakan sebuah konsekuensi yang mesti ditanggung oleh setiap personal.
Oleh karena itu sesungguhnya di samping keheroikan label mahasiswa yang begitu "gagah" di depan masyarakat, juga menuntut pembuktian atas hal itu. Jangan heran jika ada sebagian masyarakat yang menganggap bahwa mahasiswa itu bagai malaikat yang mampu menyelesaikan apa pun, apalagi jika pergi ke daerah pedesaan yang sumber daya manusianya masih kurang.
Merevolusi kesadaran. Itulah sebenarnya yang mesti kita benahi jika masih meyakini bahwa merekonstrusi perubahan ke arah yang lebih progresif adalah bagian dari salah satu tugas intelektual mahasiswa. Kapan lagi kita bisa memunculkan Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib yang "baru"?
Secara umum kita memahami gerakan mahasiswa sebagai komunitas sosial yang menjalankan aktivitas dengan usaha untuk memainkan perannya dalam proses politik, terlepas dari skala dan metode pengerahan massa yang dilakukannya. Terlepas dari keberhasilan ataupun kegagalan yang dilakukan dalam menciptakan perubahan, gerakan mahasiswa memiliki posisi yang strategis dalam mempengaruhi proses politik.

Kondisi pemerintahan pasca reformasi belum juga memberikan perubahan yang signifikan kearah yang lebih baik. Kecenderungan untuk kembali merajalelanya pola-pola orde baru terlihat dengan jelas, salah satu indikasinya adalah semakin tingginya tingkat korupsi di negeri kita, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh PERC, yang diakibatkan lemahnya sistem hukum dinegara kita. Fungsi kontrol yang dijalankan oleh legislatif terkesan jauh dari hakekatnya sebagai pembawa aspirasi rakyat, justru yang lebih menonjol adalah pembawa aspirasi golongannya.


Gerakan Mahasiswa Tahun 1966
Dikenal dengan istilah angkatan 66, gerakan ini awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional, dimana sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan. Tokoh-tokoh mahasiswa saat itu adalah mereka yang sekarang berada pada lingkar kekuasaan dan pernah pada lingkar kekuasaan, siapa yang tak kenal dengan Akbar Tanjung dan Cosmas Batubara. Apalagi Sebut saja Akbar Tanjung yang pernah menjabat sebagai Ketua DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) periode tahun 1999-2004.
Angkatan 66 mengangkat isu Komunis sebagai bahaya laten Negara. Gerakan ini berhasil membangun kepercayaan masyarakat untuk mendukung mahasiswa menentang Komunis yang ditukangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Eksekutif pun beralih dan berpihak kepada rakayat, yaitu dengan dikeluarkannya SUPERSEMAR (surat perintah sebelas maret) dari Presiden Sukarno kepada penerima mandat Suharto. Peralihan ini menandai berakhirnya ORLA (orde lama) dan berpindah kepada ORBA (orde baru). Angkatan 66 pun mendapat hadiah yaitu dengan banyaknya aktivis 66 yang duduk dalam kabibet pemerintahan ORBA.

Gerakan Mahasiswa Tahun 1972
Gerakan ini dikenal dengan terjadinya peristiwa MALARI (Malapetaka Lima Belas Januari). Tahun angkatan gerakan ini menolak produk Jepang dan sinisme terhadap warga keturunan. Dan Jakarta masih menjadi barometer pergerakan mahasiswa nasional, catat saja tokoh mahasiswa yang mencuat pada gerakan mahasiswa ini seperti Hariman Siregar, sedangkan mahasiswa yang gugur dari peristiwa ini adalah Arif Rahman Hakim.

Gerakan Mahasiswa Tahun 1980 an
Gerakan pada era ini tidak popular, karena lebih terfokus pada perguruan tinggi besar saja. Puncaknya tahun 1985 ketika Mendagri (Menteri Dalam Negeri) Saat itu Rudini berkunjung ke ITB. Kedatangan Mendagri disambut dengan Demo Mahasiswa dan terjadi peristiwa pelemparan terhadap Mendagri. Buntutnya Pelaku pelemparan yaitu Jumhur Hidayat terkena sanksi DO (Droup Out) oleh pihak ITB (pada pemilu 2004 beliau menjabat sebagai Sekjen Partai Serikat Indonesia / PSI).

Gerakan Mahasiswa Tahun 1990 an
Isu yang diangkat pada Gerakan era ini sudah mengkerucut, yaitu penolakan diberlakukannya terhadap NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus / Badan Kordinasi Kampus) yang membekukan Dewan Mahasiswa (DEMA/DM) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM).
Pemberlakuan NKK/BKK mengubah format organisasi kemahsiswaan dengan melarang Mahasiswa terjun ke dalam politik praktis, yaitu dengan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0457/0/1990 tentang Pola Pembinaan dan Pengembangan Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi, dimana Organisasi Kemahasiswaan pada tingkat Perguruan Tinggi bernama SMPT (senat mahasiswa perguruan tinggi).
Organisasi kemahasiswaan seperti ini menjadikan aktivis mahasiswa dalam posisi mandul, karena pihak rektorat yang notabane nya perpanjangan pemerintah (penguasa) lebih leluasa dan dilegalkan untuk mencekal aktivis mahasiswa yang berbuat “over”, bahkan tidak segan-segan untuk men-DO-kan. Mahasiswa hanya dituntut kuliah dan kuliah tok.
Di kampus intel-intel berkeliaran, pergerakan mahasiswa dimata-matai. Maka jangan heran jika misalnya hari ini menyusun strategi demo, besoknya aparat sudah siap siaga. Karena banyak intel berkedok mahasiswa.
Pemerintah Orde Baru pun menggaungkan opini adanya pergerakan sekelompok orang yang berkeliaran di masyarakat dan mahasiswa dengan sebutan OTB (organisasi tanpa bentuk). Masyarakat pun termakan dengan opini ini karena OTB ini identik dengan gerakan komunis.

Pemahaman ini penulis dapatkan ketika mengikuti ORPADNAS (orientasi kewaspadaan nasional) tingkat DKI Jakarta yang diikuti oleh seluruh Perguruan Tinggi di Jakarta pada tahun 1993. dan juga sebagai peserta pada kegiatan TARPADNAS (penataran kewaspadaan nasional) tingkat nasional yang diikuti oleh unsur pemuda dan mahasiswa seluruh Indonesia tahun 1994..
Pemberlakuan NKK/BKK maupun opini OTB ataupun cara-cara lain yang dihadapkan menurut versi penguasa ORBA, tidak membuat mahasiswa putus asa, karena disetiap event nasional dijadikan untuk menyampaikan penolakan dan pencabutan SK tentang pemberlakukan NKK/BKK, termasuk juga pada kegiatan TARPADNAS.

Sikap kritis mahasiswa terhadap pemerintah tidak berhenti pada diberlakukannya NKK/BKK, jalur perjuangan lain ditempuh oleh para aktivis mahasiswa dengan memakai kendaraan lain untuk menghindari sikap refresif Pemerintah, yaitu dengan meleburkan diri dan aktif di Organisasi kemahasiswaan ekstra kampus seperti HMI (himpunan mahasiswa islam), PMII (pergerakan mahasiswa islam Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), PMKRI (Pergerakan Mahasiswa Kristen Indoenesia) atau yang lebih dikenal dengan kelompok Cipayung. Ini juga dialami penulis yang menemukan titik kejenuhan jika hanya bergulat dengan ORMAWA intra kampus, karena mahasiswa menjadi kurang peka terhadap lingkungan sekitar, apalagi predikat mahasiswa adalah sebagai agent of intelegence, agent of change, agent of social control, yaitu mahasiswa sebagai seorang kaum terdidik, sebagai pembaharu dan sebagai kontrol sosial.

Gerakan Mahasiswa Tahun 1998
Gerakan mahasiswa era sembilan puluhan mencuat dengan tumbangnya Orde Baru dengan ditandai lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan, tepatnya pada tanggal 12 mei 1998.
Gerakan mahasiswa tahun sembilan puluhan mencapai klimaksnya pada tahun 1998, di diawali dengan terjadi krisis moneter di pertengahan tahun 1997. harga-harga kebutuhan melambung tinggi, daya beli masyarakat pun berkurang. Mahasiswa pun mulai gerah dengan penguasa ORBA, tuntutan mundurnya Soeharto menjadi agenda nasional gerakan mahasiswa. Ibarat gayung bersambut, gerakan mahasiswa dengan agenda REFORMASI nya mendapat simpati dan dukungan yang luar biasa dari rakyat. Mahasiswa menjadi tumpuan rakyat dalam mengubah kondisi yang ada, kondisi dimana rakyat sudah bosan dengan pemerintahan yang terlalu lama 32 tahun ! politisi diluar kekuasaan pun menjadi tumpul karena terlalu kuatnya lingkar kekuasaan, dan dikenal dengan sebutan jalur ABG (ABRI, Birokrat, dan Golkar).
Simbol Rumah Rakyat yaitu Gedung DPR/MPR menjadi tujuan utama mahasiswa dari berbagai kota di Indonesia, seluruh komponen mahasiswa dengan berbagai atribut almamater dan kelompok semuanya tumpah ruah di Gedung Dewan ini, tercatat FKSMJ (Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta), FORBES (Forum Bersama), KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) dan FORKOT (Forum Kota). Sungguh aneh dan luar biasa, elemen mahasiswa yang berbeda paham dan aliran dapat bersatu dengan satu tujuan : Turunkan Soeharto.
Dua elemen mahasiswa yang mencuat adalah FKSMJ dan FORKOT. Penulis mengenal betul karakter dua elemen mahasiswa ini. FKSMJ yang merupakan forumnya senat mahasiswa se Jakarta, lebih intens melakukan koordinasi dan terkesan hati-hati dalam menyikapi persolan yang muncul, dan lebih apik dalam beraksi karena menghindari gerakan mata-mata intel. Sedangkan FORKOT yang terdiri dari kelompok aktivis mahasiswa Pers Kampus lebih “radikal” dalam beraksi dan berani menentang arus, sehingga tak jarang harus berhadapan langsung dengan aparat, dan bentrok fisik pun tak terelakan.
Perjuangan mahasiswa menuntut lengsernya sang Presiden memang tercapai, tapi perjuangan ini sangat mahal harganya karena harus dibayar dengan 4 nyawa mahasiswa Tri Sakti, mereka gugur sebagai Pahlawan Reformasi, serta harus dibayar dengan tragedi Semangi 1 dan 2. Memang lengser nya Soeharto seolah menjadi tujuan utama pada gerakan mahasiswa sehingga ketika pemerintahan berganti, isu utama kembali kepada kedaerahan masing-masing. FORKOT dan FKMSMJ pun kembali bersebrangan tujuan.
REFORMASI terus bergulir, perjuangan mahasiswa tidak akan pernah berhenti sampai disini. Perjuangan dari masa ke masa akan tumbuh jika Penguasa tidak berpihak kepada rakyat.

welfare state

Welfare state (Kesejahteraan Negara)
Sebelum mendefinisikan apa itu welfare state (kesejahteraan negara), ada baiknya dibahas sejenak konsep kesejahteraan (welfare) yang sering diartikan berbeda oleh orang dan negara yang berbeda. Merujuk pada Spicker (1995), Midgley, Tracy dan Livermore (2000), Thompson (2005), Suharto, (2005a), dan Suharto (2006), pengertian kesejahteraan sedikitnya mengandung empat makna.
  1. Sebagai kondisi sejahtera (well-being). Pengertian ini biasanya menunjuk pada istilah kesejahteraan sosial (social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non-material. Midgley, et al (2000: xi) mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai “…a condition or state of human well-being.” Kondisi sejahtera terjadi manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat dipenuhi; serta manakala manusia memperoleh perlindungan dari resiko-resiko utama yang mengancam kehidupannya.
  2. Sebagai pelayanan sosial. Di Inggris, Australia dan Selandia Baru, pelayanan sosial umumnya mencakup lima bentuk, yakni jaminan sosial (social security),pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan dan pelayanan sosial personal (personal social services).
  3. Sebagai tunjangan sosial yang, khususnya di Amerika Serikat(AS), diberikan kepada orang miskin.Karena sebagian besar penerima welfare adalah orang-orang miskin, cacat, penganggur, keadaan ini kemudian menimbulkan konotasi negatifpada istilah kesejahteraan, seperti kemiskinan, kemalasan, ketergantungan, yang sebenarnya lebih tepat disebut “social illfare” ketimbang “social welfare”.
  4. Sebagai proses atau usaha terencana yang dilakukan oleh perorangan, lembaga-lembaga sosial, masyarakat maupun badan-badan pemerintah untuk meningkatkan kualitas kehidupan (pengertian pertama) melalui pemberian pelayanan sosial (pengertian ke dua) dan tunjangan sosial (pengertian ketiga).
Di Indonesia, konsep kesejahteraan merujuk pada konsep pembangunan kesejahteraan sosial, yakni serangkaian aktivitas yang terencana dan melembaga yang ditujukan untuk meningkatkan standar dan kualitas kehidupan manusia. Sebagai sebuah proses untuk meningkatkan kondisi sejahtera, istilah ‘kesejahteraan’ sejatinya tidak perlu pakai kata ‘sosial’ lagi, karena sudah jelas menunjuk pada sektor atau bidang yang termasuk dalam wilayah pembangunan sosial. Sektor ‘pendidikan’ dan ‘kesehatan’ juga termasuk dalam wilayah pembangunan sosial dan tidak memakai embel-embel ‘sosial’ atau ‘manusia’. Di negara lain, istilah yang banyak digunakan adalah ‘welfare’ (kesejahteraan) yang secara konseptual mencakup segenap proses dan aktivitas mensejahterakan warga negara dan menerangkan sistem pelayanan sosial dan skema perlindungan sosial bagi kelompok yang kurangberuntung (Suharto, 2005b). Bidang kesejahteraan (welfare) ini adalah domain utama para pekerja sosial, seperti halnya dokter dalam bidang kesehatan dan guru dalam bidang pendidikan (Gambar 1).














Gambar 1: Pembangunan Kesejahteraan sebagai Bagian Pembangunan Sosial
Dalam konteks pembangunan nasional, maka pembangunan kesejahteraan dapat didefinisikan sebagai segenap kebijakan dan program yang dilakukan olehpemerintah, dunia usaha, dan civil society untuk mengatasi masalah sosial dan memenuhi kebutuhan manusia melalui pendekatan pekerjaan sosial. Meskipun pembangunan kesejahteraan dirancang guna memenuhi kebutuhan publik yang luas, target utamanya adalah para Pemerlu Pelayanan Sosial (PPS), yaitu mereka yang mengalami hambatan dalam menjalankan fungsi sosialnya sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya yang paling mendasar dan karenanya memerlukan pelayanan kesejahteraan sosial. Orang miskin, anak-anak telantar, anak jalanan, anak atau wanita yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, lanjut usia telantar, orang dengan HIV/AIDS (ODHA), pekerja sektor informal, pekerja industri yang tidak mendapatkan jaminan sosial, adalah beberapa contoh Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS). Fungsi dan peran utama pembangunan kesejahteraan adalah:
Mendorong investasi sosial (social investment) melalui penyiapan dan penyediaan SDM atau angkatan kerja yang berkualitas.
Meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui kebijakan dan pelayanan sosial yang berdampak langsung pada peningkatan keberdayaan rakyat dalam mengakses sumber dan pelayanan sosial, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan.
Mempertegas peran dan mandat ‘kewajiban negara’ (state obligation) dalam mewujudkan kemerataan kehidupan secara nyata melalui sistem perlindungan sosial.
Merujuk pada struktur pemerintahan di Indonesia, lembaga atau departemen pemerintah yang berperan menjalankan pembangunan kesehatan adalah Departemen Kesehatan(Depkes), pembangunan pendidikan adalah Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), pembangunan agama adalah Departemen Agama (Depag), dan pembangunan kesejahteraan adalah Departemen Sosial (Depsos). Ketiga departemen itu berada di bawah naungan Menteri Koordinasi Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra). Karena sejatinya Menko Kesra ini menjalankan Pembangunan Sosial, maka sesungguhnya lebih tepat jika diberi nama Menko Sosial. Sedangkan Depsos lebih tepat jika diberi nama Departemen Kesejahteraan (Deptra) karena fungsinya lebih terfokus pada urusan kesejahteraan sebagai bagian dari pembangunan sosial (social development) yang secara konseptual memang lebih luas dari konsep kesejahteraan (welfare).
Pengertian tentang kesejahteraan negara tidak dapat dilepaskan dari empat definisi kesejahteraan di atas. Secara substansial, kesejahteraan negara mencakup pengertian kesejahteraan yang pertama, kedua, dan keempat, dan ingin menghapus citra negatif pada pengertian yang ketiga. Dalam garis besar, kesejahteraan negara menunjuk pada sebuah model ideal pembangunan yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan melalui pemberian peran yang lebih penting kepadanegara dalam memberikan pelayanan sosial secara universal dan komprehensif kepada warganya. Spicker (1995:82), misalnya, menyatakan bahwa kesejahteraan negara “…stands for a developed ideal in which welfare is provided comprehensively by the state to the best possible standards”.
Di Inggris, konsep welfare state difahami sebagai alternatif terhadap the Poor Law yang kerap menimbulkan stigma, karena hanya ditujukan untuk memberi bantuan bagi orang-orang miskin (Suharto, 1997; Spicker, 2002). Berbeda dengan sistem dalam the Poor Law, kesejahteraan negara difokuskan pada penyelenggaraan sistem perlindungan sosial yang melembaga bagi setiap orang sebagai cerminan dari adanya hak kewarganegaraan (right of citizenship), di satu pihak, dan kewajiban negara (state obligation), di pihak lain. Kesejahteraan negara ditujukan untuk menyediakan pelayanan-pelayanan sosial bagi seluruh penduduk orang tua dan anak-anak, pria dan wanita, kaya dan miskin,sebaik dan sedapat mungkin. Ia berupaya untuk mengintegrasikan sistem sumber dan menyelenggarakan jaringan pelayanan yang dapat memelihara dan meningkatkan kesejahteraan (well-being) warga negara secara adil dan berkelanjutan. Negara kesejahteraan sangat erat kaitannya dengan kebijakan sosial (social policy) yang di banyak negara mencakup strategi dan upaya-upaya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan warganya, terutama melalui perlindungan sosial (social protection) yang mencakup jaminan sosial (baik berbentuk bantuan sosial dan asuransi sosial), maupun jaring pengaman sosial (social safety nets).
Welfare state atau sosial service-state menurut wikipedia, yaitu negara yang pemerintahannya bertanggung jawab penuh untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar sosial dan ekonomi dari setiap warga negara agar mencapai suatu standar hidup yang minimal.
Distribusi kekayaan dan pendapat yang diciptakan oleh kapitalisme menciptakan ketimpangan yang tak dapat ditolerir, dan harus diubah dengan kebijakan pajak dan transfer yang tepat. Khususnya, mekanisme pasar gagal membantu mereka yang punya pendapatan tak mencukupi untuk hidup layak sesuai dengan ukuran keadilan sosial. Karena itu, institusi “negara sejahtera” (welfare state) harus diciptakan untuk menyediakan pendapatan yang memadai.
Ada dua interpretasi utama dari gagasan tentang negara kesejahteraan (Welfare State):
  • Sebuah model di mana negara mengasumsikan tanggung jawab utama untuk kesejahteraan warga negaranya. Tanggung jawab ini seharusnya komprehensif, karena semua aspek kesejahteraan dianggap dan diterapkan secara universal kepada warga negara sebagai.
  • Kesejahteraan negara dapat juga berarti pembentukan sebuah "jaring pengaman sosial" standar minimum Dari berbagai bentuk kesejahteraan.
Ada beberapa perdebatan tentang "negara kesejahteraan" dan "kesejahteraan masyarakat,". Di banyak negara, terutama di Amerika Serikat, beberapa tingkat kesejahteraan sebenarnya tidak disediakan oleh negara, tetapi langsung ke kesejahteraan penerima dari kombinasi relawan independen, perusahaan-perusahaan (baik amal non-profit korporasi serta untuk-keuntungan perusahaan) , dan jasa pemerintah. Fenomena ini telah disebut sebagai "kesejahteraan masyarakat," dan istilah "sistem kesejahteraan" telah digunakan untuk menggambarkan berbagai negara dan kesejahteraan masyarakat. Negara kesejahteraan melibatkan transfer dana langsung dari sektor publik untuk kesejahteraan penerima, tetapi secara tidak langsung, sektor swasta sering memberikan kontribusi dana tersebut melalui redistributionist perpajakan, negara kesejahteraan telah disebut sebagai jenis ekonomi campuran.
Konsep kesejahteraan negara tidak hanya mencakup deskripsi mengenai sebuah cara pengorganisasian kesejahteraan (welfare) atau pelayanan sosial (social services). Melainkan juga sebuah konsep normatif atau sistem pendekatan ideal yang menekankan bahwa setiap orang harus memperoleh pelayanan sosial sebagai haknya. Kesejahteraan negara juga merupakan anak kandung pergumulan ideologi dan teori, khususnya yang bermatra sayap kiri (left wing view), seperti Marxisme, Sosialisme, dan Sosial Demokratik (Spicker, 1995). Namun demikian, dan ini yang menarik, konsep kesejahteraan negara justru tumbuh subur di negara-negara demokratis dan kapitalis, bukan di negara-negara sosialis.
Di negara-negara Barat, kesejahteraan negara sering dipandang sebagai strategi ‘penawar racun’ kapitalisme, yakni dampak negatif ekonomi pasar bebas. Karenanya, welfare state sering disebut sebagai bentuk dari ‘kapitalisme baik hati’ (compassionate capitalism) (Suharto, 2005b). Sebagai ilustrasi, Thoenes mendefinisikan welfare state sebagai “a form of society characterised by a system of democratic government-sponsored welfare placed on a new footing and offering a guarantee of collective social care to its citizens, concurrently with the maintenance of a capitalist system of production” (Suharto, 2005b). Meski dengan model yang berbeda, negara-negara kapitalis dan demokratis seperti Eropa Barat, AS, Australia dan Selandia Baru adalah beberapa contoh penganut welfare state. Sedangkan, negara-negara di bekas Uni Soviet dan Blok Timur umumnya tidak menganut welfare state, karena mereka bukan negara demokratis maupun kapitalis (Suharto, 2005b).
Menurut Bessant, Watts, Dalton dan Smith (2006), ide dasar negara kesejahteraan beranjak dari abad ke-18 ketika Jeremy Bentham (1748-1832) mempromosikan gagasan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menjamin the greatesthappiness (atau welfare) of the greatest number of their citizens. Bentham menggunakan istilah ‘utility’ (kegunaan) untuk menjelaskan konsep kebahagiaan atau kesejahteraan. Berdasarkan prinsip utilitarianisme yang ia kembangkan, Bentham berpendapat bahwa sesuatu yang dapat menimbulkan kebahagiaan ekstra adalah sesuatu yang baik. Sebaliknya, sesuatu yang menimbulkan sakit adalah buruk. Menurutnya, aksi-aksi pemerintah harus selalu diarahkan untuk meningkatkankebahagian sebanyak mungkin orang. Gagasan Bentham mengenai reformasi hukum, peranan konstitusi dan penelitian sosial bagi pengembangan kebijakan sosial membuat ia dikenal sebagai “bapak kesejahteraan negara” (father of welfare states).
Tokoh lain yang turut mempopulerkan sistem kesejahteraan negara adalah Sir William Beveridge (1942) dan T.H. Marshall (1963). Di Inggris, dalam laporannya mengenai Social Insurance and Allied Services, yang terkenal dengan nama Beveridge Report, Beveridge menyebut want, squalor, ignorance, disease danidleness sebagai ‘the five giant evils’ yang harus diperangi (Spicker,1995; Bessant, et al, 2006). Dalam laporan itu, Beveridge mengusulkan sebuah sistem asuransi sosial komprehensif yang dipandangnya mampu melindungi orang dari buaian hingga liang lahat (from cradle to grave). Pengaruh laporan Beveridge tidak hanya di Inggris, melainkan juga menyebar ke negara-negara lain di Eropa dan bahkan hingga ke ASdan kemudian menjadi dasar bagi pengembangan skema jaminan sosial di negara-negara tersebut.Sayangnya, sistem ini memiliki kekurangan. Karena berpijak pada prinsip dan skema asuransi, ia tidak dapat mencakup resiko-resiko yang dihadapi manusia terutama jika mereka tidak mampu membayar kontribusi (premi). Asuransi sosial gagal merespon kebutuhan kelompok-kelompok khusus, seperti orang cacat, orang tua tunggal, serta mereka yang tidak dapat bekerja dan memperoleh pendapatan dalam jangka waktu lama. Manfaat dan pertanggungan asuransi sosial juga seringkali tidak adekuat, karena jumlahnya kecil dan hanya mencakup kebutuhan dasar secara minimal.
Dalam konteks kapitalisme, Marshall berargumen bahwa warga negara memiliki kewajiban kolektif untuk turut memperjuangkan kesejahteraan orang lain melalui lembaga yang disebut negara (Harris, 1999). Ketidaksempurnaan pasar dalam menyediakan pelayanan sosial yang menjadi hak warga negara telah menimbulkan ketidakadilan. Ketidakadilan pasar harus dikurangi oleh negara untuk menjamin stabilitas sosial dan mengurangi dampak-dampak negatif kapitalisme. Marshall melihat sistem kesejahteraan negara sebagai kompensasi yang harus dibayar oleh kelas penguasa dan pekerja untuk menciptakan stabilitas sosial dan memelihara masyarakat kapitalis. Pelayanan sosial yang diberikan pada dasarnya merupakan ekspresi material dari hak-hak warga negara dalam merespon konsekuensi-konsekuensi kapitalisme.
Model Dan Pengalaman Praksis
Seperti halnya pendekatan pembangunan lainnya, sistem kesejahteraan negara tidaklah homogen dan statis. Ia beragam dan dinamis mengikuti perkembangan dantuntutan peradaban. Meski beresiko menyederhanakan keragaman, sedikitnya ada empat model kesejahteraan negara yang hingga kini masih beroperasi (lihat Stephens,1997; Esping-Andersen, 1997; Spicker, 1995; Spicker, 2002; Suharto, 2005a; Suharto, 2006):
  1. Model Universal
Pelayanan sosial diberikan oleh negara secara merata kepada seluruh penduduknya, baik kaya maupun miskin. Model ini sering disebut sebagai the Scandinavian Welfare States yang diwakili oleh Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia. Sebagai contoh, kesejahteraan negara di Swedia sering dijadikan rujukan sebagai model ideal yang memberikan pelayanan sosial komprehensif kepada seluruh penduduknya. Kesejahteraan negara di Swedia sering dipandang sebagai model yang paling berkembang dan lebih maju daripada model di Inggris, AS dan Australia.

2. Model Korporasi atau Work Merit Welfare States
Seperti model pertama, jaminan sosial juga dilaksanakan secara melembaga dan luas, namun kontribusi terhadap berbagai skema jaminan sosial berasal dari tiga pihak, yakni pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh). Pelayanan sosial yangdiselenggarakan oleh negara diberikan terutama kepada mereka yang bekerja atau mampu memberikan kontribusi melalui skema asuransi sosial. Model yang dianutoleh Jerman dan Austria ini sering disebut sebagai Model Bismarck, karena idenya pertama kali dikembangkan oleh Otto von Bismarck dari Jerman.
Model kesejahteraan negara di Jerman banyak disebut sebagai mengacu pada ide ‘negara sosial’ (social state) atau ‘ekonomi pasar sosial’ (social market economy) yang ditandai oleh tiga prinsip utama: pertama, pembangunan ekonomi merupakan cara terbaik untuk mencapai kesejahteraan. Pengeluaran publik untuk kesejahteraan harus kompatibel dan berhubungan secara langsung dengan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Struktur pelayanan sosial harus merefleksikan prioritas ini. Pelayanan yang diberikan harus berkaitan erat dengan posisi orang dalam pasar kerja dan pendapatannya. Orang yang tidak memiliki catatan pekerjaan umumnya tidak memperoleh jaminan sosial yang melindunginya dari resiko-resiko tertentu.
Kedua, ekonomi Jerman dan sistem kesejahteraan negara dikembangkan berdasarkan struktur korporasi. Prinsip ini dibangun oleh Bismarck berdasarkan asosiasi-asosiasi gotong royong dan serikat-serikat kerja yang kemudian menjadi landasan perlindungan sosial di kemudian hari. Asuransi sosial yang mencakup tunjangan kesehatan, beberapa perawatan sosial, dan sebagian besar pemeliharaan penghasilan dikelola oleh sebuah sistem pendanaan mandiri atau swa-kelola (independent).
Ketiga, menekankan pada prinsip saling melengkapi dan saling membantu. Pelayanan sosial harus didesentralisasi atau dikelola secara mandiri dan bahwa intervensi negara harus terbatas, dalam arti hanya menyentuh pelayanan sosial yang tidak dapat disediakan oleh lembaga mandiri tersebut. Pekerja yang memiliki gaji tinggi tidak dijangkau oleh sistem asuransi sosial, tetapi dibiarkan untuk mencari skema lain sesuai kebutuhannya.
3. Model Residual
Model ini dianut oleh negara-negara Anglo-Saxon yang meliputi AS, Inggris, Australia dan Selandia Baru. Pelayanan sosial, khususnya kebutuhan dasar, diberikan terutama kepada kelompok-kelompok yang kurang beruntung (disadvantagedgroups), seperti orang miskin, penganggur, penyandang cacat dan orang lanjut usia yang tidak kaya. Ada tiga elemen yang menandai model ini di Inggris:
  1. Jaminan standar minimum, termasuk pendapatan minimum;
  2. Perlindungan sosial pada saat munculnya resiko-resiko; dan
  3. Pemberian pelayanan sebaik mungkin. Model ini mirip model universal yang memberikan pelayanan sosial berdasarkan hak warga negara dan memiliki cakupan yang luas. Namun, seperti yang dipraktekkan di Inggris, jumlah tanggungan dan pelayanan relatif lebih kecil dan berjangka pendek daripada model universal. Perlindungan sosial dan pelayanan sosial juga diberikan secara ketat, temporer dan efisien.
4. Model Minimal
Model ini umumnya diterapkan di gugus negara-negara latin (seperti Spanyol, Italia,Chile, Brazil) dan Asia (antara lain Korea Selatan, Filipina, Srilanka, Indonesia). Model ini ditandai oleh pengeluaran pemerintah untuk pembangunan sosial yang sangat kecil. Program kesejahteraan dan jaminan sosial diberikan secara sporadis, parsial dan minimal dan umumnya hanya diberikan kepada pegawai negeri, anggota ABRI dan pegawai swasta yang mampu membayar premi. Di lihat dari landasan konstitusional seperti UUD 1945, UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional), dan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan sosial yang masih kecil, maka Indonesia dapat dikategorikan sebagai penganut kesejahteraan negara model ini.
Globalisasi Dan Mitos The End Of Welfare State
Perkembangan ekonomi global memiliki implikasi terhadap kesejahteraan negara. Batas dan kekuatan negara-bangsa semakin memudar, memencar kepada lokalitas, organisasi-organisasi independen, masyarakat madani, badan-badan supra-nasional (seperti NAFTA atau Uni Eropa), dan perusahaan-perusahaan multinasional. Mishra (2000) dalam bukunya Globalization and Welfare State menyatakan bahwa globalisasi telah membatasi kapasitas negara-bangsa dalam melakukan perlindungan sosial. Lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) menjual kebijakan ekonomi dan sosial kepada negara-negara berkembang dan negara-negara Eropa Timur agar memperkecil pengeluaran pemerintah, memberikan pelayanan sosial yang selektif dan terbatas, serta menyerahkan jaminan sosial kepada pihak swasta.
Konsekuensi logis dari kecenderungan global dan menguatnya ideologi neo-liberal ini adalah munculnya kritik terhadap sistem kesejahteraan negara yang dipandang tidak tepat lagi diterapkan sebagai pendekatan dalam pembangunan suatu negara. Bahkan, berkembang anggapan yang menyatakan bahwa kesejahteraan negara telah mati (welfare state has gone away and died). Padahal, sebagaimana dijelaskan di muka, sistem ini masih berdiri kokoh di negara-negara Skandinavia, Eropa Barat, AS, Australia, Selandia Baru dan di banyak negara lainnya. Memang benar, seperti halnya kapitalisme dan faham lainnya, sistem kesejahteraan negara sedangmengalami reformulasi dan penyesuaian sejalan dengan tuntutan perubahan. Tetapi salah besar jika menganggap bahwa kesejahteraan negara telah memenuhi akhir sejarahnya. Di Australia, misalnya, sistem ini masih berdiri tegak dan bahkan semakin menguat. Seperti dilaporkan Bessant et al (2006), proporsi dolar yang diperoleh dan dikeluarkan oleh pemerintah Australia adalah untuk kebijakan sosial. “In their role as a source both of income support and welfare services in the twenty-first century, governments are now more important than at any point in the twentieth century,” demikian kata Bessant dan kawan-kawan (2006: 11).
Dalam negara kesejahteraan, pemecahan masalah kesejahteraan sosial, seperti kemiskinan, pengangguran, ketimpangan dan ketelantaran tidak dilakukan melalui proyek-proyek sosial parsial yang berjangka pendek. Melainkan diatasi secara terpadu oleh program-program jaminan sosial (social security), seperti pelayanan sosial, rehabilitasi sosial, serta berbagai tunjangan pendidikan, kesehatan, hari tua, dan pengangguran
Negara kesejahteraan pertama-tama dipraktekkan di Eropa dan AS pada abad 19 yang ditujukan untuk mengubah kapitalisme menjadi lebih manusiawi (compassionate capitalism). Dengan sistem ini, negara bertugas melindungi golongan lemah dalam masyarakat dari gilasan mesin kapitalisme.
Hingga saat ini, negara kesejahteraan masih dianut oleh negara maju dan berkembang. Dilihat dari besarnya anggaran negara untuk jaminan sosial, sistem ini dapat diurutkan ke dalam empat model, yakni:
Pertama, model universal yang dianut oleh negara-negara Skandinavia, seperti Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia. Dalam model ini, pemerintah menyediakan jaminan sosial kepada semua warga negara secara melembaga dan merata. Anggaran negara untuk program sosial mencapai lebih dari 60% dari total belanja negara.
Kedua, model institusional yang dianut oleh Jerman dan Austria. Seperti model pertama, jaminan sosial dilaksanakan secara melembaga dan luas. Akan tetapi kontribusi terhadap berbagai skim jaminan sosial berasal dari tiga pihak (payroll contributions), yakni pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh).
Ketiga, model residual yang dianut oleh AS, Inggris, Australia dan Selandia Baru. Jaminan sosial dari pemerintah lebih diutamakan kepada kelompok lemah, seperti orang miskin, cacat dan penganggur. Pemerintah menyerahkan sebagian perannya kepada organisasi sosial dan LSM melalui pemberian subsidi bagi pelayanan sosial dan rehabilitasi sosial “swasta”.
Keempat, model minimal yang dianut oleh gugus negara-negara latin (Prancis, Spanyol, Yunani, Portugis, Itali, Chile, Brazil) dan Asia (Korea Selatan, Filipina, Srilanka). Anggaran negara untuk program sosial sangat kecil, di bawah 10 persen dari total pengeluaran negara. Jaminan sosial dari pemerintah diberikan secara sporadis, temporer dan minimal yang umumnya hanya diberikan kepada pegawai negeri dan swasta yang mampu mengiur.
Lebih jauh, kita dapat menengok Selandia Baru, satu negara yang mempraktekkan negara kesejahteraan. Selandia Baru memang tidak menganut model ideal negara kesejahteraan seperti di negara-negara Skandinavia. Tetapi, penerapan negara kesejahteraan di negara ini terbilang maju diantara negara lain yang menganut model residual. Yang unik, sistem ini tidak berdiri sendiri, melainkan terintegrasi dengan strategi ekonomi kapitalisme. Sistem jaminan sosial, pelayanan sosial dan bantuan sosial (income support), misalnya, merupakan bagian dari strategi ekonomi neo liberal dan kebijakan sosial yang terus dikembangkan selama bertahun-tahun.
Penerapan negara kesejahteraan di Selandia Baru dimulai sejak tahun 1930, ketika negara ini mengalami krisis ekonomi luar biasa. Saat itu tingkat pengangguran sangat tinggi, kerusuhan memuncak dan kemiskinan menyebar di mana-mana. Kemudian sejarah mencatat, negara ini keluar dari krisis dan menjadi negara adil-makmur berkat keberanian Michael Joseph Savage, pemimpin partai buruh yang kemudian menjadi perdana menteri tahun 1935, menerapkan negara kesejahteraan yang masih dianut hingga kini. Sebagaimana diabadikan oleh Baset, Sinclair dan Stenson (1995:171): “The main achievement of Savage’s government was to improve the lives of ordinary families. They did this so completely that New Zealanders changed their ideas about what an average level of comfort and security should be.”
Liberalisasi ekonomi dan mekanisme pasar bebas yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi tidak mengurangi peran negara dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Sebagai contoh, sejak tahun 1980 Selandia Baru menjalankan privatisasi dan restrukturisasi organisasi pemerintahan. Namun negara ini tetap memiliki lembaga setingkat departemen (ministry of social welfare) yang mengatur urusan sosial.
Anggaran untuk jaminan dan pelayanan sosial juga cukup besar, mencapai 36% dari seluruh total pengeluaran negara, melebihi anggaran untuk pendidikan, kesehatan maupun Hankam (Donald T. Brash, 1998). Setiap orang dapat memperoleh jaminan hari tua tanpa membedakan apakah ia pegawai negeri atau swasta. Orang cacat dan penganggur selain menerima social benefit sekitar NZ$400 setiap dua minggu (fortnightly), juga memperoleh pelatihan dalam pusat-pusat rehabilitasi sosial yang profesional.
Pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia sesungguhnya mengacu pada konsep negara kesejahteraan. Dasar Negara Indonesia (sila kelima Pancasila) menekankan prinsip keadilan sosial dan secara eksplisit konstitusinya (pasal 27 dan 34 UUD 1945) mengamanatkan tanggungjawab pemerintah dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Namun demikian, amanat konstitusi tersebut belum dipraktekan secara konsekuen. Baik pada masa Orde Baru maupun era reformasi saat ini, pembangunan kesejahteraan sosial baru sebatas jargon dan belum terintegrasi dengan strategi pembangunan ekonomi.
Penanganan masalah sosial masih belum menyentuh persoalan mendasar. Program-program jaminan sosial masih bersifat parsial dan karitatif serta belum didukung oleh kebijakan sosial yang mengikat. Orang miskin dan PMKS masih dipandang sebagai sampah pembangunan yang harus dibersihkan. Kalaupun di bantu, baru sebatas bantuan uang, barang, pakaian atau mie instant berdasarkan prinsip belas kasihan, tanpa konsep dan visi yang jelas.
Bahkan kini terdapat kecenderungan, pemerintah semakin enggan terlibat mengurusi permasalahan sosial. Dengan menguatnya ide liberalisme dan kapitalisme, pemerintah lebih tertarik pada bagaimana memacu pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya, termasuk menarik pajak dari rakyat sebesar-besarnya. Sedangkan tanggungjawab menangani masalah sosial dan memberikan jaminan sosial diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat.
Bila Indonesia dewasa ini hendak melakukan liberalisasi dan privatisasi ekonomi yang berporos pada ideologi kapitalisme, Indonesia bisa menimba pengalaman dari negara-negara maju ketika mereka memanusiawikan kapitalisme. Kemiskinan dan kesenjangan sosial ditanggulangi oleh berbagai skim jaminan sosial yang benar-benar dapat dirasakan manfaatnya secara nyata terutama oleh masyarakat kelas bawah.
Pengalaman di dunia Barat memberi pelajaran bahwa jika negara menerapkan sistem demokrasi liberal dan ekonomi kapitalis, maka itu tidak berarti pemerintah harus “cuci tangan” dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Karena, sistem ekonomi kapitalis adalah strategi mencari uang, sedangkan pembangunan kesejahteraan sosial adalah strategi mendistribusikan uang secara adil dan merata.
Diibaratkan sebuah keluarga, mata pencaharian orang tua boleh saja bersifat kapitalis, tetapi perhatian terhadap anggota keluarga tidak boleh melemah, terutama terhadap anggota yang memerlukan perlindungan khusus, seperti anak balita, anak cacat atau orang lanjut usia. Bagi anggota keluarga yang normal atau sudah dewasa, barulah orang tua dapat melepaskan sebagian tanggungjawabnya secara bertahap agar mereka menjadi manusia mandiri dalam masyarakat.


Pembangunan Ekonomi Dan Kebijakan Sosial
Pembangunan ekonomi sangat penting bagi kesejahteraan. Secara global dan khususnya di negara-negara industri maju, pertumbuhan ekonomi telah memperkuat integrasi dan solidaritas sosial, serta memperluas kemampuan dan akses orang terhadap pelayanan kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan perlindungan sosial. Faktanya, dalam 30-40 tahun terakhir telah terjadi peningkatan standar hidup manusia secara spektakuler: usia harapan hidup semakin panjang, kematian ibu dan bayi semakin menurun, kemampuan membaca dan angka partisipasi sekolah juga semakin membaik. Namun demikian, di banyak negara berkembang, globalisasi dan ekonomi pasar bebas telah memperlebar kesenjangan, menimbulkan kerusakan lingkungan, menggerus budaya dan bahasa lokal, serta memperparah kemiskinan. Seperti dinyatakan Haque (Suharto, 2005a: 48):
Compared to the socioeconomic situation under the statist governments during the 1960a and 1970s, under the pro-market regimes of the 1980s and 1990s, the condition of poverty has worsened in many African and Latin American Countries in terms of an increase in the number of people in poverty, and a decline in economic growth rate, per capita income, and living standards.
Kebijakan privatisasi, pasar bebas dan ‘penyesuaian struktural’ (structural adjustment) yang ditekankan lembaga-lembaga internasional telah mendorong negara-negara berkembang ke dalam situasi dimana populasi miskin mereka hidup tanpa perlindungan. Meskipun pertumbuhan ekonomi penting, tetapi ia tidak secara otomatis melindungi rakyat dari berbagai resiko yang mengancamnya. Oleh karena itu, beberapa negara berkembang mulai menerapkan kebijakan sosial yang menyangkut pengorganisasian skema-skema jaminan sosial, meskipun masih terbatas dan dikaitkan dengan status dan kategori pekerja di sektor formal. Di beberapa negara, jaminan sosial masih menjangkau sedikit orang. Tetapi, beberapa negara lainnya tengah menunjukkan perkembangan yang menggembirakan.
Kecenderungan ini setidaknya menggugurkan anggapan bahwa hanya negara-negara yang memiliki kekuatan ekonomi yang tinggi saja yang mampu melakukan pembangunan sosial. Dengan menghubungkan antara GDP dan pengeluaran sosial (social expenditure) pemerintah, studi Suharto (2005a) di negara maju dan berkembang menunjukkan bahwa negara yang memiliki GDP tinggi belum tentu memiliki prosentase pengeluaran sosial yang tinggi pula. Dengan kata lain, tinggi atau rendahnya pembangunan sosial di suatu negara tidak selalu ditentukan oleh kemampuan ekonomi negara yang bersangkutan. Spektrum mengenai hubungan antara pembangunan ekonomi(PE)dan pembangunan sosial (PS) dapat dilihat dari adanya empat kategori negara (Suharto,2005a: 26)
1. Negara Sejahtera
Menunjuk pada negara yang memiliki GDP tinggi dan pengeluaran sosial yang tinggi pula. Status ini diduduki oleh negara-negara Skandinavia dan Eropa Barat yang menerapkan model kesejahteraan negara universal dan korporasi. Swedia, Denmark, dan Norwegia, misalnya, masing-masing memiliki GDP (PE) sebesar US$26.625; US$ 25.150; dan US$24.924. Pengeluaran sosial (PS) mereka juga ternyata sangat tinggi, yakni masing-masing sebesar 33,1%; 27,8%; dan 28,7% dari jumlah total pengeluaran pemerintahnya. Jerman (PE US$23.536 – PS US$23,5%) dan Austria (PE US$20.391 – PS 24,5%) juga termasuk kategori ini.
2. Negara Baik Hati
Negara-negara yang termasuk kategori baik hati memiliki PE yang relatif rendah. Namun, keadaan ini tidak menghambat mereka dalam melakukan investasi sosial. Sehingga PS di negara-negara ini relatif tinggi. Yunani dan Portugal memiliki GDP sebesar US$6.505 dan US$6.085. Belanja sosial dua negara ini adalah sebesar 20,9% dan 15,3%.
3. Negara Pelit
Negara ini memiliki PE yang tinggi. Namun, PS nya relatif rendah. Sebagai contoh, AS dan Jepang termasuk kategori ini. Secara berturutan, dua negara ini memiliki GDP sebesar US$21.449 dan US$23.801. Prosentase PS negara-negara ini relatif kecil dan lebih rendah daripada PS Yunani dan Portugal, meskipun dua negara ini memiliki GDP yang lebih rendah. AS dan Jepang masing-masing memiliki PS sebesar 14,6% dan 11,6%.
4. Negara Lemah
Kategori ini ditandai oleh PE dan PS yang rendah. Indonesia, Kamboja, Laos dan Viet Nam adalah contoh negara lemah. Mereka memiliki GDP di bawah US$5.000. Anggaran negara untuk pembangunan sosial di negara-negara ini masih di bawah 5% dari pengeluaran total pemerintahnya.

Efek Rumah Kaca - Banyak Asap Di Sana

Banyak Asap Di Sana
Hidup Tak Lagi Sama Konglomerasi Pesta
Lapar Bagaikan Hama Tak Ada Yang Tersisa

Dedikasi Dijaga Berjejal Di Kepala
Demi Sanak Saudara Hingga Menyesakkan Dada

Diskriminasi Hanya Untuk Kita Semua
Kado Bersama Sama Di Musim Perik Tiba

Yang Muda Lari Ke Kota
Berharap Tanahnya Mulia
Kosong Di Depan Mata
Banyak Asap Di Sana

Menanam Tak Bisa
Menangis Pun Sama
Gantung Cita Cita Di Tepian Kota

aaaaaaaaaa

aaaaaaaaaaaaaaaaaa